Healing (Penyembuhan)
”Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ”Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” (1 Korintus 10:23)
Beberapa kali saya melihat trending atau story atau posting di media sosial dengan judul HEALING (penyembuhan) atau terkenal dengan sebutan “SELF HEALING“. Saya yang juga termasuk pengikut setia media sosial jadi tertarik dengan kata baru ini. Tapi ada kerancuan dari penggunaan kata ini sehingga dipergunakan dalam konteks yang tidak tepat atau terlalu “mudah“ digunakan.
Ada postingan menarik dari seorang mahasiswa berusia 21 tahun yang butuh self healing selama 6 bulan karena dia merasa depresi akan kuliahnya dan hidupnya (teman dan keluarga). Pertanyaan saya “Darimana dia tahu bahwa dia sedang depresi atau merasa butuh healing (penyembuhan)“? Bukannya saya merasa bahwa masalah psikologis itu masalah biasa atau bisa di kesampingkan begitu saja. Tetapi kalau alasan tentang kebutuhan healing/penyembuhan didasarkan dari diagnosa “umum“ dari media sosial atau literasi (rujukan) dari 1 buku atau pendapat orang biasa, maka alasan itu tidak mendasar.
Di jaman sekarang kita di cocoki informasi dengan mudahnya (media sosial) atau berita internet yang mudah didapatkan, sehingga dengan mudahnya kita mendiagnosa keadaan tubuh, jiwa dan kerohanian kita dengan membandingkan informasi “recehan“ dari media sosial.
Menjadi “depresi“ karena membaca judul di medsos “Pendapatan 1 M pertama di usia 21 tahun“, “Rumah seharga 2M pertama di usia 25 tahun“, “Short vacation (liburan singkat) di New York“, “Crazy rich Medan/Surabaya/Bandung“ dll.
Setelah membaca judul-judul itu kita langsung membandingkan pencapaian diri kita dengan para “influencer“ tersebut dan merasa bahwa diri kita tidak berarti apa-apa, karena di usia 21 tahun masih juga naik kendaraan umum atau hanya kerja serabutan atau di umur 40 tahun masih jadi pegawai biasa dan tidak bisa liburan singkat ke New York. Semua yang disebar di media sosial adalah hal-hal yang ingin dilihat oleh banyak orang, parahnya mereka nekad bohong agar mereka dianggap “berhasil“. Kita adalah manusia yang Tuhan ciptakan dengan berbagai keunikan (perbedaan) dan talenta. Jadi hal-hal yang tidak membangun, buanglah jauh-jauh.
Jadi bacalah rujukan-rujukan yang benar, bukan berarti menjauh dari dunia maya (internet dan media sosial) tetai dunia itu bukan referensi bagaimana kita hidup. Tetapi Firman Tuhan lah yang harus jadikan kita referensi. Seperti yang tertulis, “Firman adalah pelita dan terang bagi jalanku“ [SE]
P1: Resiko apa yang kita dapatkan jika kita membaca/mendengar referensi yang salah?
P2: Bagaimana sikap kita ketika menghadapi tekanan hidup?