“Kekasihku mulai berbicara kepadaku: “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah” (Kidung Agung 2:10-15)
Hari senggang se-minggu se-kali. Kali ini, tidaklah membereskan rumah kulakukan. Tidak pula menunjungi pusat perbelanjaan yang kerap membosankan. AHAA!! Sanctuary!!
Alat penunjuk waktu mengabarkan bahwa hari masih terbilang pagi. Seusai membersihkan tubuh dan berbusana, segeralah saya bertolak ke kota pegunungan di tepian Kota Kembang. Dua puluh menit kemudian, sampailah di sebuah kompleks yang menyuguhkan ziarah rohani. Kakipun kulangkahkan mengeja detil tiap patung yang telah dikhususkan menjadi objek doa. Tentu tidaklah kepada patung-patung itu kulantunkan kidung doa.
Dan, sampailah kakiku pada patung terbesar yang menjadi titik perhentian terakhir peziarah bertualang. Patung yang membentuk tubuh Yesus sebelum dimakamkan, dalam ukuran besar, mengundang saya untuk merekatkan lutut pada lapisan marmer yang telah ditata untuk umat bersujud. Ku awali proses ziarah batinku itu dengan melantunkan beberapa kidung penyembahan. Berlanjut dengan rentetan doa yang diluncurkan kalbuku. Bukan doa permintaan diri, bukan pula doa bagi polemik bangsa. Murni menyuarakan kalimat pengagungan bagi Kristus. Pula rangkaian terima kasih atas berbagai suka-duka yang mampir menghiasi hidupku. Disaksikan bongkahan bebatuan cadas yang menghiasi area Karmel pagi itu.
Kawan, sadarkah kita bahwa seringkali, Kekasih kita Sang Kristus menyapa kita di sela kesibukan kita mengisi waktu hidup? Kekasihku mulai berbicara kepadaku: “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah”. Se-akan seperti seorang kekasih, Dia mengharapkan momen di mana kita datang hanya untuk berduaan dengan-Nya. Bukan meminta berkat, bukan pula memohon pertolongan. Tulus hanya menyajikan ungkapan syukur dan mengagungkan nama-Nya. Bagaimana kita bisa memenuhi keinginan Nya untuk hidup menghasilkan buah pertobatan kepada Nya, jika menyapa Nya-pun kita tak pernah. Bagaimana mungkin kita dapat mentaati apa yang dikehendaki Nya, jika mendengar suara-Nya-pun kita tak sempat waktu. [AH]
P1: Kapankah terakhir kali kita menyapa Tuhan dalam waktu teduh kita? Apa yang menjadi kendala kita merasa malas atau tak sempat menemui nya dalam hadirat-Nya?
P2: Komitmen apa yang akan kita ambil untuk mulai mebiasakan “berduaan” dengan-Nya lebih intens lagi?