You are currently viewing PEMBINA YANG DIBINA
  • Post category:Artikel

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yakobus 1:22)

Senang rasanya, ibadah anak sudah kembali dalam rupa tatap muka langsung. Dan kebiasaan lama saya berulang, berkejaran dengan anak-anak sebelum ibadah anak dinyatakan dimulai dengan seruan untuk segera masuk ruang pujian. Tetapi entah mengapa dengan Minggu itu, saya enggan mengejar anak-anak. Sampai satu sosok imut menyapa saya. Walau separuh wajahnya tertutup kain medis anti pandemi, namun saya bisa mengenalinya. Dan, dari sapaan konyol, bergulir hingga percakapan mendalam. Ternyata…

Ternyata jalan hidup nya terlampau berat untuk ditanggung anak se-usia dia. Menjadi piatu sejak masih belum bersekolah. Belum lagi kondisi finansial yang begitu mencekik. Ditambah ejekan teman-teman. Semakin lengkap dengan kesibukan sang Bunda yang alhasil tak pernah mau menyediakan telinganya untuk curhatan si anak. Tapi yang menarik dari respon si anak : “Tapi ya udahlah Kak, mau diapain lagi, emang udah Tuhan gariskannya jalan hidup saya harus pahit begini. Saya jadi belajar buat berteman cuma sama Tuhan Yesus aja. Curhat ke Mami juga ngga’ mungkin, karena beban hidup Mami juga udah berat. Jadi, saya telen aja sendiri semua ini. Yang penting saya yakin Tuhan tau apa yang saya alamin dan rasakan…”.

UUAAAAAAAAAAAAAAAAA….. Saya yang dalam Ibadah Anak disebut sebagai “Kakak Pembina”, mendadak merasa sayalah yang sedang dibina saat itu. Bagaimana mungkin anak usia 10 tahun dapat berjiwa se-tabah itu. Sementara, saya merasa seringkali melayangkan komplain kepada Tuhan. Hampir saja saya tidak mampu menahan tetesan air yang sudah menggelayuti pelupuk mata ini. “Pembina yang dibina oleh binaannya”, begitulah saya Minggu itu. Dan, Firman Tuhan soal mengandalkan Tuhan dalam arti berpegangan erat pada NYA sekaligus menyerahkan sepenuhnya hidup kita kepada DIA yang berhak melakukan rencana apapun atas hidup kita. Tanpa melayangkan gugatan sedikitpun, se-pahit apapun rasanya hidup ini. Sekalipun permintaan kita kelihatannya logis, sederhana, dan pantas untuk dikabulkan oleh NYA; serasa tak pernah dihiraukan oleh DIA Sang Empunya Hidup. Jadi apakah kita sudah berhasil untuk berserah sepenuhnya pada apapun yang jadi rancangan Kristus atas detil hidup kita?? [AH]

P1 : Apakah saya sudah mentaati Firman Tuhan dengan mengandalkan dan menyerahkan diri kita sepenuhnya?? Apa kendala dan sebab-musabab nya??

P2 : Saya mau berusaha untuk mengikis ‘keakuan’ saya di hadapan-NYA dengan mempercayakan apapun rancangan Tuhan atas hidup saya, tanpa sedikitpun saya melayangkan gugatan apapun.