“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:20)
Pertengahan tahun 2005 lahirlah anak kami yang pertama. Sukacita meliputi bukan saja saya dan istri, tapi juga seluruh keluarga besar kami. Teman dan saudara berdatangan untuk menjenguk, berdoa, memberikan kado dan ucapan selamat kepada kami.
Selepas sukacita itu, kami kemudian masuk pada fase yang baru kami alami yaitu waktu memelihara anak. Saya dan istri berkomitmen untuk sedapat mungkin mengurus anak kami dengan tenaga dan perhatian kami sendiri. Namun itu semua menyebabkan kami harus belajar mengorbankan kepentingan kami.
Mulai dari mengorbankan waktu, dimana pada 3 bulan awal, anak kami hampir tiap malam terbangun beberapa kali entah karena lapar atau karena ngompol, bahkan beberapa kali karena gigitan nyamuk dan perut yang kembung. Belum terhitung ketika dia terjaga di malam hari dan mengajak kami “bermain”. Ini menyebabkan kami harus mengorbankan waktu tidur kami.
Kami juga harus mengorbankan waktu privasi untuk melakukan hobi dan kegiatan yang kami sukai dan menggantinya dengan mengantarkan anak kami ke dokter anak untuk imunisasi dan beberapa kali untuk memeriksakannya karena sakit.
Tetapi semuanya itu kami lakukan dengan kesadaran bahwa ini kami lakukan pada buah hati yang kami sayangi. Inilah yang membuat pengorbanan kami tidak terasa berat. Ketika melihat senyum yang tersungging dari anak kami, seolah pengorbanan waktu, tenaga, pikiran kami terbayar lunas.
Disadari atau tidak, dalam diri setiap manusia sebetulnya sudah “dipasang/diinstal” hati yang rela berkorban, tapi seiring “kontaminasi” dari lingkungan sekitar yang mempengaruhi kita untuk berpikir bahwa segala sesuatu harus dilakukan untuk mendapat imbalan, maka rela berkorban menjadi padam.
Yang perlu kita lakukan adalah aktifkanlah itu, ingatlah bahwa kita diminta oleh-Nya untuk menjadi sama seperti Kristus yang rela mengorbankan diri-Nya untuk umat manusia tanpa pamrih. [DMP]
P1 : Belajar melakukan tindakan dengan rela meskipun kadang mengorbankan kepentingan kita.
P2 : Sudahkah kita melatih dan mengaktifkan hati yang rela berkorban?