You are currently viewing TAK PERNAH DIKUNCI
  • Post category:Artikel

“Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan.” (Filemon 15-16)

Robert Strand dalam bukunya, Moments for Mothers, mengisahkan tentang konflik sebuah keluarga di Glasgow, Skotlandia. Setelah bertahun-tahun berontak terhadap nilai-nilai dan keyakinan dalam keluarganya, seorang gadis memutuskan untuk menolak orang tuanya dan pergi keluar dari rumahnya untuk hidup bebas sendiri sesuai keinginannya.

 Bertahun-tahun dia menjalani kehidupan jalanan yang sengsara dengan menjual diri dan bergantung pada misi sosial penyelamatan untuk bertahan hidup. Selama berpisah dari keluarga, dia tidak tahu ayahnya meninggal. Bahkan ia tidak tahu bahwa ibunya tidak pernah berhenti mencarinya. Suatu hari dia melihat foto yang dipasang di tempat penampungan tunawisma di kota itu. Di foto ibunya tertulis kata-kata, “Aku masih mencintaimu… pulanglah!”

Dipenuhi keheranan dan rasa tidak percaya dia pulang ke rumahnya dengan harapan bahwa dia memang masih dicintai. Saat tiba tengah malam, jantungnya berdebar ketika dia berdiri di teras dan bersiap untuk mengetuk. Tetapi wajahnya tiba-tiba berubah ketika dia menyentuh pintu rumah dan pintu itu langsung terbuka. Dipenuhi rasa cemas, ia berlari ke kamar tidur ibunya karena kuatir ada orang jahat masuk dan mengancam keselamatan ibunya. Dengan sepenuh tenaga ia meraih ibunya yang sedang terbaring dan wanita itu segera bangun untuk memeluk putrinya yang telah memberontak itu. Ketika sang gadis menjelaskan ketakutannya tentang pintu yang terbuka, ibunya menjawab, “Tidak sayang. Sejak kamu pergi, pintu itu tidak pernah dikunci.”

Alkitab mencatat kisah yang serupa ketika Yesus mengisahkannya dalam perumpamaan tentang Anak Yang Hilang (Luk. 15:11-32). Melalui perumpamaan ini, Yesus menunjukkan betapa besar kasih Allah Bapa yang mengampuni dosa pemberontakan anak bungsu. Bapa menunjukkan pengampunan-Nya dengan selalu menantikan kedatangan anaknya dan ketika melihat dari jauh, “ … (IA) berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.” (Luk. 15:20). Pengampunan bukan sekedar memaafkan kesalahan, namun lebih dari hal itu yakni kesediaan membuka ‘pintu’ dan menerima kembali.[SM]

P1: Apa yang menjadi dasar orang Kristen untuk memberi pengampunan kepada orang yang telah merugikan atau menyakiti hati ?

P2: Bagaimana seharusnya sikap kita ketika menerima kembali orang yang memberontak dan pernah merugikan atau meninggalkan kita ?